Minggu, 19 Maret 2017
Tugas psikologi pendidikan : Implikasi sesuai masa perkembangan
Haii teman-teman kali ini saya memposting tentang hasil kerja kelompok kami yang membahas tentang implikasi atau contoh cara belajar pada tahap perkembangan pendidikan, semoga bermanfaat yaaa..
Tugas Psikologi Pendidikan
Kelompok: 10
Fikri Dien (161301016)
Izdihar Afra (161301022)
Yuliasti (161301027)
Dinda Pramadi Putri (161301037)
Yusnita Tarigan (161301038)
Gita Clara Tinambunan (161301063)
Farel Andhika Fajar (161301067)
Cari bagaimana implikasi atau contoh cara belajar pada tahap perkembangan TK, SD, SMP, dan SMA terhadap pendidikan!
Penyelesaian :
Pada tahap perkembangan TK (Taman Kanak-Kanak)
Tahap perkembangan pada masa TK kurang lebih sesuai dengan masa kanak-kanak awal yang berkisar antara usia 2-6 tahun. Pada fase ini, anak-anak mengalami empat macam masa yaitu, masa negativitis (trotzalter), masa bermain, masa eksplorasi, dan juga masa meniru. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, tahap kognitif pada masa ini berada pada tahap praoprasional di mana bersifat egosentris dan juga ada kemajuan dalam bahasa. Sedangkan pada teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg, masa ini berada pada tahap prakonvensional yang dibagi menjadi dua tahap: a) tahap 1 (2-4 tahun) orientasi hukuman dan b) tahap 2 (4-6 tahun) orientasi ganjaran. Dengan kata lain, anak-anak yang berada pada tahap 1 dapat diberikan hukuman apabila melakukan kesalahan karena mereka belum dapat membedakan dengan baik antara yang benar dan yang salah, sedangkan anak-anak yang berada pada tahap 2 dapat diberikan ganjaran (pujian) untuk setiap perbuatan baik yang mereka lakukan.
Dalam masa ini, penting sekali untuk melakukan penanaman moral, mengingat salah satu yang terjadi pada masa ini adalah adanya masa meniru. Hal lain yang juga penting adalah bahwa tidak memaksakan anak-anak pada masa ini untuk belajar karena masa ini adalah masanya bermain, tidak ada larangan untuk belajar terlebih jika dilakukan sambil bermain dan juga tidak adanya paksaan terhadap anak. Pada masa ini juga keingintahuan anak-anak meningkat sehingga mereka akan sering bertanya untuk mengetahui lebih banyak hal dan juga untuk memenuhi keingintahuannya. Maka dari itu, metode pendidikan yang tepat pada masa ini adalah belajar sambil bermain untuk mengasah kemampuan softskill-nya serta memberikan penjelasan mengenai keingintahuannya diiringi dengan penanaman moral yang tepat.
Contoh:
Beberapa taman kanak-kanak yang berbasis “sekolah alam dan sains” mengajak para peserta didiknya untuk mengekplorasi alam dan juga meningkatkan keberanian serta kekompakan mereka dengan adanya kegiatan outbound yang menjadi salah satu kegiatan wajib di sekolah mereka tersebut.
Sebuah taman kanak-kanak mengajarkan pada muridnya berhitung dengan cara bernyanyi sambil bermain dengan harapan anak tersebut bisa meningkatkan kemampuan berhitung dengan baik dan lebih cepat.
Pada tahap perkembangan SD (Sekolah Dasar)
Siswa SD adalah mereka yang usianya masih sekitar 6-11 tahunan, usia yang senang-senangnya bermain. Jelas ini membuat para guru SD harus kerja lebih keras dalam menerapkan berbagai strategi belajar.
Dalam belajar siswa SD terkadang mengalami kesulitan dalam mengingat sesuatu. Ditambah lagi jika materinya banyak, pasti lebih sulit lagi. Nah disinilah guru harus memberikan sebuah langkah jitu untuk mengatasi itu semua. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan metode "Chunking". Metode chunking adalah metode yang memudahkan siswa dalam mengingat sesuatu.
Contoh dari penggunaan metode ini, misalkan siswa di suruh mengingat sederet kata: Sapi, Rumput, Lapangan, Tennis, Air, Anjing, Danau. Dalam hal ini siswa bisa mempergunakan metode chungking untuk mengingat kata tersebut,
Menjadi :
"SAPI terlihat makan RUMPUT disamping LAPANGAN TENNIS. Setelah itu ia meminum AIR yang tidak jauh dari ANJING yang sedang memandang DANAU di sebrang"
Salah satu cara belajar yang juga bisa digunakan untuk siswa SD adalah dengan metode mengembangkan brainstorming. Brainstorming adalah teknik di mana orang-orang dalam sebuah kelompok didorong untuk menghasilkan ide kreatif, saling bertukar gagasan, dan mengatakan apa saja yang ada di pikiran mereka yang tampaknya relevan dengan isu tertentu. Cara ini dapat dilakukan oleh sang guru dengan melontarkan sebuah pertanyaan atau suatu isu sehingga membiarkan siswa SD mengeluarkan pendapatnya semaksimal mungkin, walaupun pendapat yang dilontarkan bisa menjadi hal yang tidak masuk akal. Hal ini dilakukan agar siswa SD berani dalam mengeluarkan apa yang difikirkannya.
Pada tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Pada tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama) merupakan masa remaja (Adolescence) yang dimulai dari usia 11/12 tahun – 18/24 tahun. Pada tahap ini perkembangan emosional yang tidak stabil, berubah-ubah, dan cenderung meledak-ledak serta perkembangan kognitif yaitu pada tahap operasional formal di mana masih memiliki pola berpikir cenderung egosentris yaitu berpikir mengenai suatu hal menurut pandangannya sendiri. Pada tahap ini cara belajar yang tepat diberikan pada anak SMP ialah belajar sambil berdiskusi dalam kelompok. Dengan berdiskusi berarti ia harus mendengarkan dan menerima pendapat serta saran dari orang lain sehingga melatih diri untuk menahan emosional yang tidak stabil tersebut serta mendengarkan pandangan atau pendapat dari orang lain mengenai suatu hal. Maka, belajar sambil berdiskusi dalam kelompok ialah cara belajar yang tepat pada tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Anak usia smp merupakan anak-anak pada usia peralihan kanak-kanak dan dewasa. Disebut masa remaja. Pada masa ini anak akan mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan fisiknya dan psikisnya, sehingga proses belajar yang tepat digunakan iyalah menumbuhkan sikap disiplin anak, misalnya dengan memberikan hukuman pada anak yang tidak mengerjakan tugas, hal tersebut akan membuat anak malu, mengingat masa ini adalah masa perkembangannya maka sang anak akan mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya, hal tersebut dapat menjadi motivasi pada anak untuk selalu tampil lebig baik. Proses belajar lainnya juga dapat di padukan dengan lingkungan. Mereka akan lebih memahami pelajaran bila pelajaran terjebut dipadukan dengan hal-hal yang menyanangkan. Misalnya belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya, membawanya ketempat-tempat yg nyaman atau sesuai dengan pembelajaran.
Pada tahap perkembangan SMA (Sekolah Menengah Atas)
Pada masa SMA antara usia 15-18 tahun yaitu masa remaja, mereka mulai mencari identitas mereka. Pada masa ini, remaja mampu memahami dan mengkaji konsep-konsep abstrak dalam batas-batas tertentu. Kecenderungan-kecenderungan remaja untuk melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak tergali, guru dapat membantu mereka dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses dengan memberi penekanan pada penguasaan konsep-konsep abstrak. Karena siswa pada usia remaja ini masih dalam proses penyempurnaan penalaran, guru hendaknya tidak menganggap bahwa mereka berpikir dengan cara yang sama dengan guru. Cara yang baik dalam mengatasi bentuk-bentuk pemikiran yang belum matang ialah membantuk siswa menyadari bahwa mereka telah melupakan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Namun,bila permasalahan tersebut merupakan masalah kompleks dengan bobot emosi yang cukup dalam, hal itu bukan tugas yang mudah.
Kelompok belajar terdiri dari siswa-siswa yang memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda baik kemampuan maupun polanya. Sehubungan dengan itu, dalam mengembangkan strategi belajar mengajar di bidang bahasa, guru perlu memfokuskan pada kemampuan dan keragaman bahasa anak. Anak diminta untuk melakukan pengulangan pelajaran yang telah diberikan dengan kata-kata yang disusun sendiri. Dengan cara ini, guru dapat melakukan identifikasi tentang pola dan tingkat kemampuan bahasa mereka. Kalimat atau cerita anak tentang isi pelajaran perlu diperkaya dan diperluas oleh guru agar mereka mampu menyusun cerita yang lebih komprehensif tentang isi bacaan yang telah dipelajari dengan menggunakan pola bahasa mereka sendiri.
Senin, 06 Maret 2017
Psikologi Pendidikan: Perencanaa, Instruksi , dan Teknologi
Kelompok 10
Ketua: Farel Andhika Fajar (161301067)
Anggota:
Fikri Dien (161301016)
Izdihar Afra (161301022)
Yuliasti (161301027)
Dinda Pramadi Putri (161301037)
Yusnita Tarigan (161301038)
Gita Clara Tinambunan (161301063)
Contoh-Contoh dalam Pembelajaran Classical Conditioning, Operant Conditioning, dan Kognitif
Classical Conditioning: Belajar Asosiasi
Pengertian belajar menurut classical conditioning adalah suatu bentuk di mana stimulus netral yang berupa conditioned stimulus (CS) dipasangkan dengan unconditioned stimulus (UCS) untuk dapat mengubah unconditioned response (UCR) menjadi conditioned response (CR) hanya karena adanya CS.
Elemen kunci dari classical conditioning adalah asosiasi dari dua stimulus. Classical conditioning sendiri dapat dihilangkan dengan counter conditioning. Classical conditioning, salah satunya, berperan dalam memahami masalah phobia.
Contoh Classical Conditioning, antara lain:
Seorang anak selalu mencuci piringnya setelah selesai makan karena ibunya pernah memintanya melakukan hal tersebut sebelumnya. Setelah terbiasa melakukan hal tersebut, sang ibu mencoba untuk menaruh piring kotor lainnya di tempat cuci piring, sang anak yang hendak mencuci piring yang baru dipakainya pun mencuci piring kotor lainnya juga. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Sehingga, jka sang anak tidak memiliki kegiatan dan melihat ada piring yang kotor, ia pun akan langsung mencucinya saat itu juga walaupun tidak ada piring yang dipakainya.
Seorang wanita hanya berselera makan jika hidangan utama yang akan dia makan pedas. Namun, ternyata wanita itu menikah dengan seorang pria yang menyukai hidangan utama yang manis. Setiap hari, ia pun memasak untuk hidangan pedas dan hidangan manis pada satu waktu dan juga ikut memakan keduanya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga sang wanita menjadi berselera makan walaupun hidangan utama yang tersaji adalah hidangan yang manis dan tidak ada hidangan yang pedas.
Seorang anak yang terbiasa tinggal dengan orangtuanya dengan terpaksa harus mengekos karena berkuliah di kota lain. Pada dua minggu pertama, ibunya juga ikut tinggal di tempat kosnya agar sang anak lebih mudah beradaptasi untuk tinggal tanpa ibunya. Setelah batas waktu yang telah ditentukan, ibunya kembali ke kota asalnya, sang anak pun mulai terbiasa untuk tinggal di tempat kosnya walaupun sang ibu tidak bersamanya.
Seorang satpam di sebuah kantor di perintahkan untuk membukakan pintu mobil bossnya, karena dia terlalu sering melakukan itu. Pada suatu hari satpam itu tetap membukakan pintu mobil bossnya tanpa di perintahkan oleh bossnya.
Seorang anak laki-laki di suruh oleh ayahnya untuk mencuci mobil yang kotor, karena setiap melihat mobil kotor anak itu pasti mencucinya. Pada suatu hari si anak melihat mobil itu kotor dan tanpa disuruh pun si anak langsung mencuci mobil tanpa perlu diperintahkan oleh ayahnya.
Operant Conditioning
Operant Conditioning (juga dinamakan pengkondisian instrumental) adalah sebentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulang. Di dalam Operant Conditioning memiliki dua Inforcement (penguatan) dan hukuman. Dua Inforcement tersebut ialah Positive Inforcement yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung atau rewarding, Negative Inforcement yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan), dan hukuman yaitu konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Contoh dari Operant Conditioning, antara lain :
Positive Reinforcement
Saat saya berada di kelas 1 SMP sewaktu pembagian rapot semester pertama, saya mendapatkan peringkat pertama di kelas. Saya merasa sangat senang dan memberitahu kedua orang tua saya tentang kabar gembira itu. Orang tua saya memberikan pujian dan memberikan reward berupa handphone setelah beberapa hari mengetahui kabar gembira itu. Aku semakin merasa senang dan membuat ku semakin termotivasi untuk mendapatkan peringkat pertama lagi di semester-semester berikutnya.
Positive Inforcement :
Pemberian pujian dan reward berupa handphone dari orang tua sehingga membuat ku untuk terus mendapatkan peringkat pertama.
Stimulus yang mendukung yaitu pemberian pujian dan reward dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu untuk terus mendapatkan peringkat pertama.
Saya belajar tilawah (MTQ) dengan seorang guru mengaji saat berumur 10 tahun. Pada awal belajar tilawah, saya merasa kurang percaya diri untuk memulai mengaji berirama seperti yang telah dicontohkan guru saya. Namun, seiring waktu rasa percaya diri saya mulai muncul yang membuat saya mulai berani untuk mengikuti irama mengaji guru saya. Keberanian ini muncul karena kedua orang tua saya selalu memberikan keyakinan dan dorongan bahwa saya mampu untuk melakukannya. Hingga suatu saat, saya mulai mengikuti perlombaan tilawatil Quran (MTQ), perlombaan yang pertama kali saya ikuti mendapatkan juara harapan dua. Kemudian, saya menyadari bahwa saya mampu melakukannya dan harus menjadi lebih baik lagi di perlombaan selanjutnya. Saya berpikir jika saya mengaji lebih baik lagi pasti saya akan mendapatkan posisi juara yang lebih baik pula. Oleh karena itu, saya belajar lebih keras dan lebih giat lagi. Hingga pada perlombaan berikutnya saya mendapatkan juara 3, juara 2, hingga juara 1.
Positive Inforcement :
Pemberian semangat, keyakinan, dan dorongan dari orang tua yang membuat saya terus ingin melakukan yang terbaik hingga akhirnya bisa mendapatkan juara 1 pada lomba MTQ.
Stimulus yang mendukung yaitu pemberian semangat, keyakinan, dan dorongan dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu terus ingin melakukan yang terbaik hingga akhirnya bisa mendapatkan juara 1 pada lomba MTQ.
Negative Inforcement
Saat saya mulai memasuki masa remaja di mana masa pencarian identitas diri dan cenderung memiliki emosi yang tidak stabil. Saya menjadi lebih pemarah dan egois, pola belajar saya juga sempat tidak teratur karena saya sering berpergian dengan teman-teman sekolah. Suatu saat, nilai ujian saya tidak sebagus biasanya dan saya merasa sangat menyesal, sesampainya di rumah saya menceritakan tentang nilai saya kepada orang tua saya. Tetapi, mereka tidak memarahi saya melainkan memberikan sindiran-sindiran yang membuat saya merasa bersalah. Sejak itu, saya mulai bisa mengontrol diri saya dan sebisa mungkin mengatur pola belajar saya menjadi lebih baik.
Negative Inforcement :
Pemberian sindiran-sindiran dari orang tua yang membuat ku merasa bersalah sehingga membuat ku ingin berusaha lagi untuk mendapatkan nilai yang baik seperti yang biasanya aku dapatkan.
Stimulus yang tidak menyenangkan yaitu pemberian sindiran-sindiran dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu berusaha lagi untuk mendapatkan nilai yang baik seperti yang biasanya aku dapatkan.
Keponakan saya yang berumur 5 tahun cukup sulit untuk disuruh mandi. Dia terlalu banyak bermain yang membuatnya keletihan sehingga ia langsung tertidur. Dan saat dibangunkan cukup sulit untuk menyuruhnya mandi. Sehingga, ibunya mengomelinya setiap kali ia disuruh mandi. Namun, karena sudah terlalu sering diomeli oleh ibunya. Akhirnya, ia tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan dari ibunya laginya.
Negative Inforcement :
Pemberian omelan secara terus-menerus dari ibunya yang membuat si anak tersebut tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan ibunya lagi.
Stimulus yang tidak menyenangkan yaitu pemberian omelan secara terus-menerus dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan ibunya lagi.
Punishment atau Hukuman
Saat pelajaran biologi, saya tidak membawa buku biologi yang membuat saya mendapatkan hukuman dari guru biologi saya. Sebagai akibatnya, saya tidak diizinkan masuk untuk mengikuti mata pelajaran Biologi darinya.
Punishment atau Hukuman :
Pemberian hukuman berupa tidak diizinkan untuk masuk ke kelas yang membuat saya pada pertemuan berikutnya akan selalu membawa buku Biologi.
Kognitif
Dalam belajar kognitif, faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran seseorang ialah dalam bentuk penerimaan, pengelolaan dan memutuskan informasi. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari saat kita mendengar nada dering panggilan handphone, kita akan memutuskan untuk menjawab panggilan kemudian berbicara dengan si penelfon atau menolak panggilan tersebut kemudian melanjutkan kegiatan kita. Saat kita memutuskan menerima panggilan tersebut, disinilah dimana kita melakukan proses kognitif , yaitu kita dapat menerima, mengolah, dan memutuskan suatu informasi tersebut.
Dalam belajar kognitif, faktor lain yang mempengaruhi proses belajar seseorang ialah bagaimana seseorang memahami hal-hal baru yang ada disekitarnya dan kemudian ditransformasikan sebagai pengetahuan. Misalnya, seorang siswa akan mencoba memahami pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Siswa akan mulai berfikir, lalu memahami pelajaran tersebut dan kemudian menerapkannya. Sebagai contoh, guru tersebut menjelaskan pelajaran mengenai bumi dan kerusakan alam, siswa akan mulai berfikir, lalu memahami bahwa kerusakan alam itu dapat berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia. Setelah memahami pelajaran tersebut, siswa akan mulai mengevaluasi dan menerapkan hal-hal yang dapat mencegah rusaknya lingkungan hidup manusia. Hal tersebut termasuk dalam belajar kognitif karna dalam prosesnya menyangkut proses belajar yang berhubungan dengan nalar atau pikiran.
Seorang pengemudi motor yang baru belajar di ajarkan oleh bapaknya, dia sedang mencoba untuk memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jika dia tidak melanggar di hari itu, dia tentu mengetahui akan terjadi sesuatu yang buruk seperti kecelakaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat berita yang tidak diketahui kebenarannya. Kemudian kita memutuskan untuk tidak mempercayainya.
Saat para wanita sedang berbelanja di mall, dia tentu melihat barang bagus. Akan tetapi, uang yang dia bawa tidak mencukupi untuk membeli barang tersebut. Kemudian dia memutuskan untuk menghiraukan barang bagus tersebut.
Pengertian belajar menurut classical conditioning adalah suatu bentuk di mana stimulus netral yang berupa conditioned stimulus (CS) dipasangkan dengan unconditioned stimulus (UCS) untuk dapat mengubah unconditioned response (UCR) menjadi conditioned response (CR) hanya karena adanya CS.
Elemen kunci dari classical conditioning adalah asosiasi dari dua stimulus. Classical conditioning sendiri dapat dihilangkan dengan counter conditioning. Classical conditioning, salah satunya, berperan dalam memahami masalah phobia.
Contoh Classical Conditioning, antara lain:
Seorang anak selalu mencuci piringnya setelah selesai makan karena ibunya pernah memintanya melakukan hal tersebut sebelumnya. Setelah terbiasa melakukan hal tersebut, sang ibu mencoba untuk menaruh piring kotor lainnya di tempat cuci piring, sang anak yang hendak mencuci piring yang baru dipakainya pun mencuci piring kotor lainnya juga. Hal tersebut dilakukan berulang kali. Sehingga, jka sang anak tidak memiliki kegiatan dan melihat ada piring yang kotor, ia pun akan langsung mencucinya saat itu juga walaupun tidak ada piring yang dipakainya.
Seorang wanita hanya berselera makan jika hidangan utama yang akan dia makan pedas. Namun, ternyata wanita itu menikah dengan seorang pria yang menyukai hidangan utama yang manis. Setiap hari, ia pun memasak untuk hidangan pedas dan hidangan manis pada satu waktu dan juga ikut memakan keduanya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga sang wanita menjadi berselera makan walaupun hidangan utama yang tersaji adalah hidangan yang manis dan tidak ada hidangan yang pedas.
Seorang anak yang terbiasa tinggal dengan orangtuanya dengan terpaksa harus mengekos karena berkuliah di kota lain. Pada dua minggu pertama, ibunya juga ikut tinggal di tempat kosnya agar sang anak lebih mudah beradaptasi untuk tinggal tanpa ibunya. Setelah batas waktu yang telah ditentukan, ibunya kembali ke kota asalnya, sang anak pun mulai terbiasa untuk tinggal di tempat kosnya walaupun sang ibu tidak bersamanya.
Seorang satpam di sebuah kantor di perintahkan untuk membukakan pintu mobil bossnya, karena dia terlalu sering melakukan itu. Pada suatu hari satpam itu tetap membukakan pintu mobil bossnya tanpa di perintahkan oleh bossnya.
Seorang anak laki-laki di suruh oleh ayahnya untuk mencuci mobil yang kotor, karena setiap melihat mobil kotor anak itu pasti mencucinya. Pada suatu hari si anak melihat mobil itu kotor dan tanpa disuruh pun si anak langsung mencuci mobil tanpa perlu diperintahkan oleh ayahnya.
Operant Conditioning
Operant Conditioning (juga dinamakan pengkondisian instrumental) adalah sebentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulang. Di dalam Operant Conditioning memiliki dua Inforcement (penguatan) dan hukuman. Dua Inforcement tersebut ialah Positive Inforcement yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung atau rewarding, Negative Inforcement yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan), dan hukuman yaitu konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Contoh dari Operant Conditioning, antara lain :
Positive Reinforcement
Saat saya berada di kelas 1 SMP sewaktu pembagian rapot semester pertama, saya mendapatkan peringkat pertama di kelas. Saya merasa sangat senang dan memberitahu kedua orang tua saya tentang kabar gembira itu. Orang tua saya memberikan pujian dan memberikan reward berupa handphone setelah beberapa hari mengetahui kabar gembira itu. Aku semakin merasa senang dan membuat ku semakin termotivasi untuk mendapatkan peringkat pertama lagi di semester-semester berikutnya.
Positive Inforcement :
Pemberian pujian dan reward berupa handphone dari orang tua sehingga membuat ku untuk terus mendapatkan peringkat pertama.
Stimulus yang mendukung yaitu pemberian pujian dan reward dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu untuk terus mendapatkan peringkat pertama.
Saya belajar tilawah (MTQ) dengan seorang guru mengaji saat berumur 10 tahun. Pada awal belajar tilawah, saya merasa kurang percaya diri untuk memulai mengaji berirama seperti yang telah dicontohkan guru saya. Namun, seiring waktu rasa percaya diri saya mulai muncul yang membuat saya mulai berani untuk mengikuti irama mengaji guru saya. Keberanian ini muncul karena kedua orang tua saya selalu memberikan keyakinan dan dorongan bahwa saya mampu untuk melakukannya. Hingga suatu saat, saya mulai mengikuti perlombaan tilawatil Quran (MTQ), perlombaan yang pertama kali saya ikuti mendapatkan juara harapan dua. Kemudian, saya menyadari bahwa saya mampu melakukannya dan harus menjadi lebih baik lagi di perlombaan selanjutnya. Saya berpikir jika saya mengaji lebih baik lagi pasti saya akan mendapatkan posisi juara yang lebih baik pula. Oleh karena itu, saya belajar lebih keras dan lebih giat lagi. Hingga pada perlombaan berikutnya saya mendapatkan juara 3, juara 2, hingga juara 1.
Positive Inforcement :
Pemberian semangat, keyakinan, dan dorongan dari orang tua yang membuat saya terus ingin melakukan yang terbaik hingga akhirnya bisa mendapatkan juara 1 pada lomba MTQ.
Stimulus yang mendukung yaitu pemberian semangat, keyakinan, dan dorongan dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu terus ingin melakukan yang terbaik hingga akhirnya bisa mendapatkan juara 1 pada lomba MTQ.
Negative Inforcement
Saat saya mulai memasuki masa remaja di mana masa pencarian identitas diri dan cenderung memiliki emosi yang tidak stabil. Saya menjadi lebih pemarah dan egois, pola belajar saya juga sempat tidak teratur karena saya sering berpergian dengan teman-teman sekolah. Suatu saat, nilai ujian saya tidak sebagus biasanya dan saya merasa sangat menyesal, sesampainya di rumah saya menceritakan tentang nilai saya kepada orang tua saya. Tetapi, mereka tidak memarahi saya melainkan memberikan sindiran-sindiran yang membuat saya merasa bersalah. Sejak itu, saya mulai bisa mengontrol diri saya dan sebisa mungkin mengatur pola belajar saya menjadi lebih baik.
Negative Inforcement :
Pemberian sindiran-sindiran dari orang tua yang membuat ku merasa bersalah sehingga membuat ku ingin berusaha lagi untuk mendapatkan nilai yang baik seperti yang biasanya aku dapatkan.
Stimulus yang tidak menyenangkan yaitu pemberian sindiran-sindiran dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu berusaha lagi untuk mendapatkan nilai yang baik seperti yang biasanya aku dapatkan.
Keponakan saya yang berumur 5 tahun cukup sulit untuk disuruh mandi. Dia terlalu banyak bermain yang membuatnya keletihan sehingga ia langsung tertidur. Dan saat dibangunkan cukup sulit untuk menyuruhnya mandi. Sehingga, ibunya mengomelinya setiap kali ia disuruh mandi. Namun, karena sudah terlalu sering diomeli oleh ibunya. Akhirnya, ia tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan dari ibunya laginya.
Negative Inforcement :
Pemberian omelan secara terus-menerus dari ibunya yang membuat si anak tersebut tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan ibunya lagi.
Stimulus yang tidak menyenangkan yaitu pemberian omelan secara terus-menerus dari orang tua.
Respons yang meningkat yaitu tidak sulit lagi untuk disuruh mandi karena tidak ingin mendengar omelan ibunya lagi.
Punishment atau Hukuman
Saat pelajaran biologi, saya tidak membawa buku biologi yang membuat saya mendapatkan hukuman dari guru biologi saya. Sebagai akibatnya, saya tidak diizinkan masuk untuk mengikuti mata pelajaran Biologi darinya.
Punishment atau Hukuman :
Pemberian hukuman berupa tidak diizinkan untuk masuk ke kelas yang membuat saya pada pertemuan berikutnya akan selalu membawa buku Biologi.
Kognitif
Dalam belajar kognitif, faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran seseorang ialah dalam bentuk penerimaan, pengelolaan dan memutuskan informasi. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari saat kita mendengar nada dering panggilan handphone, kita akan memutuskan untuk menjawab panggilan kemudian berbicara dengan si penelfon atau menolak panggilan tersebut kemudian melanjutkan kegiatan kita. Saat kita memutuskan menerima panggilan tersebut, disinilah dimana kita melakukan proses kognitif , yaitu kita dapat menerima, mengolah, dan memutuskan suatu informasi tersebut.
Dalam belajar kognitif, faktor lain yang mempengaruhi proses belajar seseorang ialah bagaimana seseorang memahami hal-hal baru yang ada disekitarnya dan kemudian ditransformasikan sebagai pengetahuan. Misalnya, seorang siswa akan mencoba memahami pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Siswa akan mulai berfikir, lalu memahami pelajaran tersebut dan kemudian menerapkannya. Sebagai contoh, guru tersebut menjelaskan pelajaran mengenai bumi dan kerusakan alam, siswa akan mulai berfikir, lalu memahami bahwa kerusakan alam itu dapat berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia. Setelah memahami pelajaran tersebut, siswa akan mulai mengevaluasi dan menerapkan hal-hal yang dapat mencegah rusaknya lingkungan hidup manusia. Hal tersebut termasuk dalam belajar kognitif karna dalam prosesnya menyangkut proses belajar yang berhubungan dengan nalar atau pikiran.
Seorang pengemudi motor yang baru belajar di ajarkan oleh bapaknya, dia sedang mencoba untuk memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jika dia tidak melanggar di hari itu, dia tentu mengetahui akan terjadi sesuatu yang buruk seperti kecelakaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat berita yang tidak diketahui kebenarannya. Kemudian kita memutuskan untuk tidak mempercayainya.
Saat para wanita sedang berbelanja di mall, dia tentu melihat barang bagus. Akan tetapi, uang yang dia bawa tidak mencukupi untuk membeli barang tersebut. Kemudian dia memutuskan untuk menghiraukan barang bagus tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)